Entri Populer

Rabu, 11 April 2012

Mata diufuk timur

Rasanya otakku ingin meledak karena menopang fikiran-fikiran yang tak kuat ku nalar. Begitu banyak pertanyaan dan pernyataan terbesit dibenakku. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus membunuh fikiranku atau aku harus membunuh diriku sendiri. Tubuhku tak kuat lagi.
Aku duduk bersandarkan tembok dikamar kosku. Bukuku berserakan. Kamarku berantakan. Ya. aku marah. Entah pada siapa? Apakah aku marah pada diriku sendiri? Atau pada dia? Atau pada keadaan? Atau pada tuhan yang sudah menciptakan perbedaan? Titah-titahnya yang mengungkapkan beda itu indah adalah bullshit. Apakah pantas mahluk hina dari keturunan yang di usir dari surga pantas mencaci maki penciptanya? Apakah pantas seorang hamba membantai sabda-sabda majikannya? Aku merasa bumi ini semakin panas. Aku merasa malaikat izroil sedang dalam perjalanan untuk mencabut nyawaku. Membawaku kedalam dunia-dunia baru yang kekal. Membawaku terbang menghantarkanku bertemu tuhan.

Malam yang menghadirkan gejolak-gejolak muda bangkit dari keterpurukannya. Mengibas, menguras jiwa-jiwa yang terhampar dipulau kehampaan. Angin berjalan pelan melewati sela-sela jendela kamarku. Menyenggol bibir keluku. Kurasakan sunyi malam ini. Meski terdengar hiruk pikuk hajatan tetanggaku. Aku tergeletak beku karenamu, wahai jelita hatiku. Engkau begitu cantik, takkan jenuh mata adam ini menatap sinar binar wajahmu. Tingkah laku yang santun dan tidak neko-neko seakan malaikatpun tunduk hanya sekedar menyapamu. Takkan pernah terlupa tiap-tiap pertemuanku denganmu.
Ya. pertemuan awal kita tanggal 27 januari 2010. Usai sholat subuh aku melihatmu tak jauh dari masjid kau duduk sendiri seperti orang linglung. Aku menghampirimu. Aku bertanya kenapa, kau hanya diam. Aku mencoba menawarkan bantuan, kau masih juga diam. Terfikir dibenakku mungkin kau ingin sendiri. Aku mulai beranjak berputar arah membelakangimu. Tapi kau hentikan langkahku. Memegang tanganku. Aku palingkan wajah kaget dengan apa yang kau lakukan. Kau masih saja menundukkan kepalamu. Mungkin wanita ini gila, itu yang ada dipikiranku.
”Aku tidak gila. itu kata yang pertama keluar dari mulutmu. Seolah kau bisa membaca pikiranku. “Terimakasih” itulah kata kedua yang kau ucapkan. Aku tak mengerti maksudmu. Seribu pertanyaan terbesit diotakku. Kau berdiri. Sekilas kulihat sinar binar sepasang Mata yang indah pancarkan cahaya bak mentari di ufuk timur. Lalu kau pergi. lari. Menjauh dariku.
Aku pikir pertemuan ku denganmu ba’da shubuh itu takkan berarti apa-apa. Tapi aku tak tahu kenapa. Aku tak bisa melupakan mata itu. Mata yang seolah terus membuntutiku. Mata yang terus membayangiku. Aku merasa tak pernah sendiri. Dalam gelap terpancar secuil cahaya dari matamu. Mata itu terus hadir memenuhi setiap pojok otakku. Jujur aku ingin bertemu kamu lagi.
Setelah satu minggu lebih mata itu menguasai fikiranku. Aku bertemu lagi dengannmu. Disaat yang tak terduga. Karena terburu aku lari dibelokan gang hingga aku menabrakmu. Kau marah-marah karena buku dan kertas-kertasmu jatuh berserakan. Aku rindu pada mata itu. Aku betah memandanginya. Kau marah karena aku tak minta maaf dan membantu mengambil kertas-kertasmu. Tapi aku tak peduli. Kau meneriakiku. Aku hanya diam terus menatapmu. Kau mulai jengkel dengan tingkahku. Dan pergi. Spontan ku pegang tanganmu aku bilang aku tidak gila. Kau terperangah mendengrnya. Kata yang kedua Terimakasih itu yang terlontar dariku. Dan aku langsung pergi teringat aku akan janji bersama temanku.
Tepat dua minggu setelah pertemuan pertama. Aku melihatmu lagi ditempat yang sama dengan pakaian yang sama. Warna putih. Apa kau suka warna putih. Fikirku. Ba’da subuh. Lagi-lagi kau disana apa yag kau lakukan. Aku menghampirimu.
“Hai,” kau menyapaku. Spontan aku kaget.
“Hai juga, jawabku singkat.
“Aku bukan orang gila” katamu.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dan terimakasih. Kita ucapkan kata itu bersama. Seolah kita punya ikatan batin. Kita tertawa bersama untuk pertama kalinya. Meski hanya tertawa kecil. Sejenak aku terlena olehmu. Ternyata kau banyak bicara. Jauh berbeda dengan wanita yang kulihat dua minggu lalu. Apakah kau wanita yang sama?.
Tanpa sungkan kau banyak menceritakan kisah-kisah konyol dan lucu tentangmu bersama temanmu. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Senyummu sungguh manis. Kita duduk di gang dekat masjid. Saat mentari mulai muncul. kau bergegas pulang. Aku memegang tanganmu. Bertanya siapa namamu. Ria itu yang keluar dari bibir manismu. Lalu kau berlari. Aku memanggilmu. Kau tak peduli. Dengan suara keras nan lantang aku bertanya kapan kita bertemu lagi. Kau bilang satu minggu lagi ditempat dan waktu yang sama. Meski sudah agak jauh tapi aku masih jelas mendengarnya.
Sejam yang takkan pernah aku lupakan. Engkau sungguh misterius. Tapi setidaknya kini aku tahu nama dari si pemilik sepasang mata yang menghantuiku. Dan aku tahu satu minggu dari sekarang kita akan bertemu. Aku tak sabar menanti hari itu. Aku merasa waktu begitu lambat. Andai aku bisa mempercepat waktu. Aku ingin satu minggu itu terjadi sekarang. Aku tak sabar ingin melihat mata itu. Hidupku tak tenang karena senyummu, candamu, wajahmu yang elok terus menggeruyutiku.
Tanggal 17 februari 2010. Kau menepati janjimu. Kini giliranku yang bercerita padamu. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai suka banyak berbicara. Tapi disampingmu aku seperti orang lain. Aku seperti budak yang mengikuti tuannya. Atau mungkin aku sudah terbudak olehmu. Kita terdiam sejenak. Aku lupa aku belum memperkenalkan diriku. Pasti kau tak tahu namaku. Tapi ternyata dugaanku salah. Kau tahu aku, Namaku, Tempat tinggalku, Aktivitasku, Aku kaget. Kau hanya berdalih kau penggemarku. Aku tersipu malu mendengarnya. Memiliki penggemar secantik dirimu.
Aku bertanya padamu tentang pertemuan awal kita, Sedang apa kau disana? Apa yang terjadi? Wajahmu tampak berbeda kala aku menanayakannya. Kau diam sejenak dan berkata waktu yang kan menjawab. Fajar segera duduk disinggasananya apa kau akan pergi. Batinku. Kau menunduk. “Kapan kita akan bertemu lagi?” tanyaku. Kau hanya menggeleng. Dan berkata lagi waktu yang kan menjawab. Kemudian kau berpamitan ingin pergi. Aku ingin mengantarkanmu. Tapi tak kau izinkan. Kau pergi berlari bersama bayanganmu. Meninggalkanku.
Ria aku merindumu. Entah kenapa kau begitu mudah masuk kedalam hidupku. Kau sangat pandai mengoyak hatiku. Kau ukir dengan paten namamu diotakku. Lama tak bertemu kau membuatku hariku tak berarti apa-apa. Kau dimana Ria?.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Aku masih selalu setia menunggumu. Usai solat subuh aku selalu berharap kau sudah ada di gang itu menungguku. Tapi aku tak menemukanmu. Ku sempatkan duduk sejenak digang itu. Berharap kau akan datang. Tapi harapanku itu pupus seperti bulan yang pupus terhempas lengser oleh fajar.
Hari ini. Disiang yang terik. Aku seperti melihat sosokmu. Kau memakai pakaian warna putih. Aku berlari mengejarmu dan memanggilmu, Tapi kau tetap berjalan terus.
“Hai”. Sapaku Dengan nafas tersenga-senga. Aku kaget melihat pakaianmu. “kenapa kau memakai pakaian itu, seperti…” kau memotong ucapanku
“Biarawati” jawabmu singkat
“Ia. Tapi lucu sih… kamu masih terlihat cantik . karena kamu memang cantik. Jadi pakai apa saja tetap cantik”
“Terimakasih”
Seseorang keluar dari gerbang. Dengan pakaian sama seperti yang kau kenakan. Dan menyapamu serta berkata “Suster Maria, kita sudah ditunggu pastur.”
“Ia sebentar lagi. Silahkan Anda duluan”
Wanita itu lalu masuk kedalam gereja. Aku baru sadar ternyata kita berada persis didepan gerbang gereja. Aku tak mengerti.
“Suster??. Ini maksudnya apa?? Maria itu siapa?” tanyaku.
“Namaku Maria Magdalena. Aku seorang kristiani. Aku yatim piatu. Aku dibesarkan oleh para biarawati, jadi semenjak itu aku bercita-cita ingin menjadi seorang biarawati. Dan kau Muhammad Alfa. Aku tak tahu apa yang kau punya. Aku sering melihatmu diperempatan kau sedang menunggu bis. Aku tak tahu kenapa aku suka melihatmu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tapi cita-citaku ingin menjadi biarawati. Memaksaku membinasakan rasa itu. Karena rasa itu memang tak seharusnya ada. Itu yang membuatku mencari ketenangan. Ba’da shubuh di gang dekat tempat ibadahmu. Itulah tempatku mencari ketenangan. Karena ditempat itu aku ingin menyambut fajar. Menyambut hari baru. Tapi, justru aku bertemu denganmu. Rasa itu terus berkecamuk dalam hatiku. Aku bernafsu ingin bersamamu terus menemuimu. Tapi sekali lagi aku sadar. Aku harus membinasakan rasa itu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar