Entri Populer

Rabu, 29 Februari 2012

sarjana copy paste


Hampir setengah jam-an lebih ia berada di kelas. Tapi kertas jawabannya masih kosong. Karena otak suduh buntu tak mendapatkan apa-apa sedang waktu terus berjalan. Ia merogoh tas dan mengambil buku kemudian membukanya. Catatannya tidak lengkap lagi-lagi ia tak mendapat apa-apa. Lalu ia mengambil HP disakunya mencoba browsing diinternet. Lalu ia salin sedikit demi sedikit. Karena waktu mepet, sedang ia belum selesai mengerjakan. Akhirnya ia berbisik pada teman yang duduk dibangku sebelahnya meminta jawaban. Ia diperlihatkan kertas jawaban milik temannya. Dengan mudah ia mendapatkan jawaban darinya.
Dengan gesit Ia mengcopi paste jawaban itu. Meskipun ada dosen yang mengawasi tanpa takut dan gentar ia menyalin jawaban tersebut. Yang penting kertas itu terisi dan ada jawaban meski bukan hasil pekerjaannya sendiri.
Hal itu tak ia alami sendiri. Ternyata jawaban itu ia dapatkan dari teman yang duduk didepan depannya lagi. Yang tak diketahui pasti sumber jawabannya dan meski jawaban itu tak diyakini kebenarannya.

Tapi sepertinya tak ada kata jera buktinya kebudayaan itu masih tetap ada sampai saat ini. Bahkan sudah mengakar dan mendarah daging dalam diri mahasiswa. Kerjasama antar mahasiswa sudah menjadi kebudayaan yang mengakar sejak dulu bahkan saat masih duduk dibangku sekolah. Tak hanya tes didalam kelas. Tes yang bersifat take home lebih parah lagi. Mahasiswa langsung mengcopy paste dari internet atau kalau kepepet meminta file jawaban teman, lalu edit bagian depan atau pendahuluan pada jawaban dan seterusnya jawabannya sama.
Kalau begitu siapa yang dirugikan dosen? Mahasiswa? Atau birokrasi?. Kalau ditilik lebih jauh bukankah semuanya sama-sama dirugikan. Mahasiswa yang mendapat nilai bagus tapi bukan hasil jerih payahnya sendiri. Dosen yang menganggap metode pengajarannya berhasil karena mahasiswa mampu mengerjakan. Birokrasi yang hanya menerima berkas-berkas nilai dari dosen hanya mentranskrip nilai saja dan menganggap semua baik-baik saja.
Adanya pandangan sebagian dosen, keberhasilan mahasiswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas UTS (Ujian Akhir Semester), terlebih lagi pada UAS (Ujian Akhir Semester). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran.
Harusnya para dosen tak hanya menilai mahasiswa dari tes-tes saja. Karena di tes itu bisa saja terjadi kecurangan atau kerjasama antar mahasiswa. Dengan alasan ingin membahagiakan orang tua. Karena jika IP (Indeks Prestasi) mereka tinggi bukankah orang tua juga ikut senang.
Bukankah tujuan dari pendidikan adalah memenusiakan manusia. Dengan melihat realita bukankah pendidikan justru membrobokkan manusia itu sendiri karena hanya mengejar selembar kertas berisi nilai bagus. Bukankah yang paling penting dari hidup adalah proses bukan hasilnya. Karena kita belajar dari proses itu. Dari proses itu kita tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan dari proses itu kita tak akan mengulangi kesalahan itu.
Mungkin dosen kurang tegas pada mahasiswa. Jika sedari awal dosen tegas dan melarang keras bekeja sama diimbuhi ancaman yang jelas serta pengawaan yang ketat. Mungkin mahasiswa akan segan untuk bekerjasama apalagi menyontek.
Menyontek bukan hal yang asing tapi sesuatu yang sudah lumrah. Bekerja sama dengan teman juga bukan sesuatu yang memalukan. Mungkin akan merasa risih jika tak saling membantu. Apalagi dalam diri mahasiswa sudah tercanang posisi menentukan prestasi. Itu akan membuat mahasiswa semakin tak percaya pada diri sendiri dan selalu tergantung pada orang lain.
Seperti yang pernah dikatakan Sydney Harris, Ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berpikir seperti komputer.
Mahasiswa yang tak ingin lagi susah berfikir dan lebih suka dengan sesuatu yang instant merasa berat untuk berfikir dan lebih suka memanfaatkan IT yang merajalela di negeri kita saat ini. Memang, tak salah memanfaatkan tekhnologi tapi jangan sampai menimulkan ketergantungan pada mahasiswa yang menyebabkan malas untuk berfikir.
Mahasiswa yang notabene intelektual kini hanya angin lalu belaka. Mahasiswa yang nantinya akan membawa perubahaan saat terjun dimasyarakat dengan menggunakan ilmunya yang bertitle sarjana bukan S.pd atau S.Ei yang akan mereka sandang tapi S.cp (Sarjana Copy Paste)
Mahasiswa yang memiliki tanggung jawab sebagai agent problem solver. Tapi kenapa justru sebaliknya mahasiswa adalah pembuat masalah. Mahasisiwa yang seharusnya membangun bangsa dengan keintelektualan mereka justru merobahkan bangsa dengan kebodohan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar