Entri Populer

Selasa, 21 Juni 2011

SESUAP UNTUK HARI INI

Hari sudah agak siang, meskipun mentari belum juga muncul. Rasa lapar yang hinggap diperutku memakasaku harus pergi. Dengan peralatan karung goni, topi usang yang bertengger dikepala dan sebatang tongkat besi ditangan. Aku sudah siap pergi bersama anakku Marwan. Dia putra sulungku dari almarhum suamiku.
Kami berjalan dan terus berjalan dengan langkah yang cepat nan gesit. Meski jalan becek karena hujan deras semalam. Apalagi akhir-akhir ini ditelivisi sering diberitakan terjadi banjir. Aku bersyukur tinggal didataran yang agak tinggi. Aku tak bisa bayangkan jika daerahku terkena banjir. Bagaimana dengan rumahku yang hanya terbuat dari triplek dan kardus pasti akan hanyut terbawa arus.

Kami sudah sampai ditempat yang baunya tak asing lagi. Didepanku sudah menjulang tinggi beberapa gunung. Bukan gunung pemandangan alam tapi gunungan tumpukan samph. Aku telah sampai di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Ya… aku seorang pemulung. Berapa sih penghasilan pemulung, untuk bisa makan hari ini saja sudah syukur apalagi bisa menyimpan uang untuk hari esok. Saat memulung kami berbagi tugas. Marwan memungut sampah anorganik, sedangkan aku mengumpulkan sampah organik seperti sayuran semacam kol atau sawi bukan untuk ku jual. Tapi aku masak. kadang aku juga menemukan roti yang lumayan masih bagus. Kebanyakan sampah-sampah itu berasal dari restoran, sampah, atau perumahan. Tak jarang sayuran –sayuran tadi terdapat ulat atau sebagian talah membusuk. Kadang aku juga memetik jamur yang tumbuh dari tumpukan sampah.
Karena hari sudah siang. Mentaripun duduk rapi disinggasana kebesarannya dan menghantarkan cahaya teriknya yang mendahagakan setiap insan yang terlena akan keduniawian. Sebelum pulang, aku mencari titik-titik keberadaan Marwan dari sudut-sudut tempat. Tapi aku tak melihatnya. Mungkin ia sudah pergi ke pengepul sampah, atau sedang bersiap-siap dihalte menunggu bis untuk mengamen, atau dia sudah sampai dipasar untuk menjadi kuli. Entahlah tapi kuharap ia baik-baik saja. Sering ku menangis saat melihatnya. Ibu mana yang tega melihat anaknya yang baru berusia empatbelas tahun sudah menjadi tulang punggung keluarga. Harusnya di usianya ini ia bisa menikmati masa-masa bermain dengan teman-teman sebayanya. Bukan bekerja. Ia masih muda tak sepantasnya ia mengais rupiah demi sesuap nasi.
Dengan langkah pasti, ku telusuri jalan, meski jalannya tak lagi becek seperti tadi pagi. Terdengar bunyi klakson yang berlomba-lomba sudah bisa kutebak jalanan pasti macet. Seperti biasa banyak mobil-mobil mewah lalu lalang ditambahi asap-asap motor yang menyempurnakan polusi. Debu-debu yang berterbangan diam-diam masuk menyelinap mencari sela-sela tuk hinggap disaluran pernafasan. Di pinggir kota terdapat gubug-gubug reot yang menghiasi sesaknya kota metropolitan yang setiap saat dapat diluluh lantahkan. Disanalah tempat tinggalku. Aku hanyalah orang pinggiran. Dan mereka sering menyebutku sebagai sampah masyarakat yang harus diberantas. Tapi bagiku sampah masyarakat adalah mereka orang-orang yang berdasi dan dalam kepemimpinanya hasilnya adalah korupsi. Bukan wewenangku untuk membicarakan mereka, lagi pula Aku tak mau tahu dan aku tak ingin tahu. Yang terpenting bagiku saat ini adalah bagaimana cara agar anakku bisa makan hari ini.
“ Nia , Nisa ayo makan dulu”
“ya… Bu!” jawab serempak
Tanpa pikir panjang mereka berlari menuju sumber suara. Cacing dalam perut yang dari kemarin belum terisi menyuarakkan aksinya tanda tak tahan lagi. Terlihat sebakul nasi dan semangkuk sayuran sudah terhidang, tanpa menunggu perintah lagi mereka mengambil nasi dan sayuran dan dengan lahap mereka makan.
Alhamdulillah, hari ini anakku bisa makan nasi tak seperti kemarin yang makan aking. Terimakasih ya Allah. Insyaalllah Makanan itu halal tapi apakah makanan itu sehat?. Walaupun aku sudah mencucinya berulang kali dan secara kasat mata itu bersih. Tapi, tetap saja aku tak yakin. Sungguh aku tak kuasa melihatnya. Kadang nafasku sesak karena tak kuat lagi menopang hidup amat berat. Sempat dulu terlintas dibenakku aku ingin menjual Annisa, anak bungsuku sewakti ia masih bayi. Tapi suamiku melarangku, ia mengatakan padaku “kita boleh miskin akan harta tapi jangan sampai kita miskin akan iman”. Setelah ditinggal mati oleh suamiku karena tabrak lari, aku merasa beban hidup ini kian berat. Sampai kapan penderiatan ini akan berakhir, apakah aku harus melakukan seperti yang sering diberitakan di telivisi, karena tak kuat mempertahankan hidup akhirnya gantung diri, atau minum racun tikus atau aku harus terjun dari tempat yang tinggi. Lalu bagaimana dengan anak-anakku. Apakah aku harus menyiram mereka dengan minyak tanah kemudian aku bakar mereka hidup-hidup. Astaghfirullahal ‘adhzim.
“ Makanannya enak bu!” kata Anisa yang membuyarkan lamunanku
“ Ia Bu, besok masak seperti ini lagi ya”. Tambah Nia sambil memasukkan makanan kedalam mulutnya.
Aku hanya bisa tersenyum. Tanpa kusadari aku meneteskan air mata. Dengan sigap ku usap air mataku agar anak-anak tak melihatnya. Ya Allah… kejamnya aku. Aku memberi makan anak-anakku dari tempat sampah dari bahan-bahan yang sebenarnya sudah tak layak untuk dimakan. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku memberi makan mereka dari sampah tapi tetap saja rasanya aku seperti mencekik leher mereka secara perlahan tapi pasti. Ditambah lagi setelah memakan makanan seperti itu, aku atau anak-anakku bahkan beberapa tetanggaku yang melakukan hal yang sama kadang merasa pusing dan mual. Tapi kami tak pernah hiraukan asalkan perut kenyang hati senang hiduppun jadi riang. Kalau aku boleh memilih aku tak ingin hidup seperti ini. Tapi inilah hidup begitu keras begitu kejam. Semua karena himpitan ekonomi. Karena himpitan ekonomi pula anak-anakku hingga kini belum ada yang pernah mengenyam bangku pendidikan. Maafkan ibumu ini nak, maafkan…
Ku usap rambut Annisa yang baru berusia empat tahun, dengan menghela nafas panjang “ nanti, sisakan sedikit untuk abangmu ya…”.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar